PULAU FLORES merupakan bagian dari kelompok pulau-pulau Nusa Tenggara
Timur, dan mendapat banyak pengaruh dari pulau-pulau sekitarnya.
Pengaruh-pengaruh tersebut memperkaya budaya suku-suku di Flores yang
jumlahnya mencapai hampir tiga puluh suku. Setiap suku 'mempunyai bahasa
dan dialeknya sendiri. Di bagian barat pulau Flores tinggal orang
Manggarai, di bagian tengah tinggal orang Ngada, Riung, dan Nage Keo,
sedangkan di bagian timur berdiam orang Ende, Lio, Sikka, dan Larantuka.
Sebagian besar masyarakat Flores hidup dari bercocok tanam dan
berternak kerbau dan kuda. Kedua jenis hewan tersebut dipergunakan
sebagai alat pembayaran mas kawin. Dan pada umumnya kuda juga
berfungsi sebagai alat transportasi. Kepandaian menenun ini diwariskan
secara turun-temurun, dan telah dipelajari sejak mereka masih kecil.
Salah satu tradisi para wanita penenun yang menarik yaitu kebiasaan
memakan sirih dilakukan wanita Flores, khususnya penenun, di sepanjang
hari saat bekerja. Jenis-jenis kain tenun yang dihasilkan adalah
selendang lebar yang berfungsi sebagai selimut bagi laki-laki dan sarung
untuk wanita. Selimut atau selendang juga digunakan sebagai penutup
jenazah. Selain sebagai selimut dan pakaian yang dijual bebas di
pasaran, kain tenun ikat juga digunakan sebagai perlengkapan upacara
adat sebagai pakaian adat, pakaian upacara, dan mas kawin.
Beragamnya fungsi dan banyaknya permintaan kain tenun ikat, membawa
banyak perubahan dalam proses pembuatannya. Selain digunakannya pewarna
sintetis, kini benang rayon juga digunakan sebagai bahan baku kain tenun
ikat. Meskipun demikian, kain tenun ikat yang dicelup dengan pewarna
alami dan menggunakan bahan baku tradisional yaitu benang dari kapas,
juga masih ada.
Tenun ikat Flores dibuat dengan bahan dasar benang
dari kapas yang dipilin oleh penenunnya sendiri. Benangnya kasar dan
dicelup warna biru indigo. Kain dihiasi dengan ragam hias
bentuk geometris aneka warna yang cerah dan menyolok. Kain tenun dari
daerah Manggarai banyak menggunakan warna kuning keemasan, merah, dan
hijau.
Pembuatan desain kain tenun ikat di Flores dilakukan dengan
mengikat benang-benang lungsi. Pekerjaan ini dapat berlangsung selama
berminggu-¬minggu, bahkan kadang-kadang sampai berbulan-bulan.
Seringkali pencelupan dikerjakan satu-persatu untuk setiap bakal kain
sarung, meskipun kadang-kadang juga dilakukan sekaligus untuk beberapa
buah kain sarung. Ketika kerajaan-kerajaan kecil di Flores masih ada,
sejumlah orang bekerja khusus sebagai pembuat kain-kain tenun untuk
kebutuhan kalangan raja-raja di istana. Jika dahulu ada
pembedaan pakaian adat berdasarkan status sosial (golongan bangsawan
atau rakyat jelata), maka masa sekarang tidak lagi. Sekarang kain-kain
tenun dibuat untuk dijual ke pasaran lalu dijual lagi kepada mereka yang
membutuhkannya. Pesanan dengan kualitas khusus masih dilayani dengan
harga khusus pula.
Beberapa daerah yang menghasilkan kain-kain tenun
adalah Manggarai, Ngada, Nage Keo,Ende, hingga sekitar Lio, Sikka, dan
Lembata di bagian timur Flores. Di daerah-daerah tersebut, seperti di wilayah Nusa Tenggara Timur lainnya, benang yang diikat adalah benang lungsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar